Presentasi-Pendidikan-Alat-Laboratorium-Kimia-Tosca-Pastel-Illustrasi

PP No. 28 tahun 2024: Kontroversi Kontrasepsi untuk Remaja

Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau sering disebut sebagai UU Kesehatan. Peraturan yang baru dikeluarkan ini menggabungkan sejumlah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden kedalam 1.072 pasal yang mengatur ketentuan teknis meliputi penyelenggaraan upaya kesehatan, aspek teknis pelayanan kesehatan, pengelolaan tenaga medis dan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, serta teknis perbekalan kesehatan serta ketahanan kefarmasian alat kesehatan (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id)

Dilansir dari laman kementerian kesehatan, peraturan ini juga membahas berbagai aspek penting dalam upaya kesehatan yang meliputi 22 aspek layanan diantaranya kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, lanjut usia (lansia), dan penyandang disabilitas, kesehatan reproduksi, kesehatan gizi, kesehatan jiwa, penanggulangan penyakit menular, dan penanggulangan penyakit tidak menular dan aspek lainnya. Salah satu bagian yang banyak diperbincangkan hingga menimbulkan kontroversi oleh berbagai kalangan adalah pada pembahasan bagian 4 terkait kesehatan reproduksi. spesifik pada bagian pasal 103 ayat 4 yang isinya; “Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.”

Pada pasal 103 dalam peraturan ini membahas berkaitan dengan Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja. Setidaknya terdapat dua poin penting minimum yang diakomodir dalam pasal ini yaitu tentang pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait kesehatan reproduksi termasuk media dan waktu pelaksanaanya serta penjaminan atas adanya layanan kesehatan yang disiapkan.

Dalam konteks ini, sebelum kita membahas letak kontroversi yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan pasal 103 ayat 4, khususnya pada poin penyediaan alat kontrasepsi yang dianggap mempromosikan atau memotivasi remaja melakukan hubungan seksual. Terlebih dahulu kita harus memahami dasar pemikiran keberadaan pengaturan ini serta melihat fakta atau data riil yang tengah terjadi di masyarakat.

Hal ini sejalan dengan penjelasan dr. Oka yang merupakan seksolog dan juga Ketua Pengurus PKBI Daerah Bali. Beliau menjelaskan bahwa pembahasan terkait pemberian alat kontrasepsi pada remaja memanglah isu sensitif yang kerap rawan di pelintir dan menimbulkan miskonsepsi di masyarakat. Sehingga membutuhkan ahli yang menjelaskan berbagai kontroversi yang sedang terjadi sehingga informasi yang diberikan tidak bersayap.

Terkait kontroversi pasal 103 ayat 4 yang membahas terkait pemberian komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan reproduksi khususnya pada poin pemberian alat kontrasepsi bagi remaja, dr. Oka menjelaskan “Kebutuhan kondom dan alat kontrasepsi untuk mencegah KTD dan IMS jelas dibutuhkan oleh yang membutuhkan. Ini namanya proteksi spesifik. Sampai di sini clear.”

Dalam hal komunikasi, informasi dan edukasi terkait kesehatan reproduksi khususnya bagi remaja di sekolah, masih minim dilaksanakan lantaran beberapa faktor salah satunya adalah sikap tabu yang masih berkembang di masyarakat untuk membicarakan dan mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Karena kondisi ini, akibatnya kita akan dihadapkan dengan berbagai fakta masalah yaitu kehamilan yang tidak diinginkan, perkawinan anak, serta banyaknya orang muda yang terkena infeksi menular seksual atau IMS. 

Pernyataan ini kemudian didukung dengan penjelasan lanjutan “Jika melihat banyak data dan fakta yang menyebutkan bahwa sekian persen remaja (belum menikah) -rentang riset 10-30%-sudah berhubungan seksual, terlebih fakta juga meng-capture kasus KTD dan IMS juga terjadi akibat hubungan seksual tersebut, maka remaja memang butuh proteksi spesifik tersebut. Tentu saja untuk melengkapi edukasi untuk pencegahan. Tetapi memang edukasi dan pencegahan masih kurang masif dan kurang optimal, atas banyak kendala. Karena itu saat kemudian diakomodasi di UU Kesehatan yang baru dan kemudian diturunkan oleh pemerintah di PP 28 tahun 2024, maka ini adalah sesuatu hal yang baik. Masa mencegah KTD dan IMS bukan hal baik?” tambah dr.Oka Negara.

Tingkat kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia sangatlah tinggi. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2018 memperkirakan bahwa sebanyak 46,9% dari 1000 remaja di Indonesia berusia 15-19 tahun pernah melahirkan, angka ini sedikit lebih tinggi dari rata-rata Dunia sebesar 42%. Pada tahun 2021 BKKBN menyatakan bahwa dari jumlah penduduk remaja di Indonesia usia (14-19 tahun) terdapat 19,6% kasus kehamilan tidak diinginkan. Misalnya di Indonesia terdapat 1000 remaja usia (14-19 tahun) itu artinya 196-nya mengalami kasus kehamilan yang tidak diinginkan.

WHO (World Health Organization) menjelaskan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan banyak terjadi pada negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah, hal ini berkaitan dengan kondisi rentan yang dihadapi baik dari segi keterbatasan atas akses informasi mengenai kesehatan reproduksi maupun akses terhadap biaya kontrasepsi serta hambatan secara hukum dan sosial. Masih banyak stigma yang dilekatkan pada remaja yang mengakses kontrasepsi yang akhirnya mencegah remaja tersebut untuk terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan (WHO, 2024). Akibatnya secara bersamaan perlindungan atas keselamatan remaja khususnya remaja perempuan untuk mengalami kesakitan dan kematian meningkat.

Deklarasi ICPD (International Conference on Population and Development) di Kairo pada tahun 1994, dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatanganinya dengan jelas menyatakan bahwa negara wajib memenuhi hak kesehatan reproduksi setiap individu. Salah satu isinya mencakup hak atas informasi dan layanan kesehatan reproduksi dan hak untuk bebas berpikir terkait dengan kesehatan reproduksinya. Kekhawatiran sebagian besar masyarakat Indonesia terkait dengan penyediaan alat kontrasepsi pada remaja yaitu akan mempengaruhi remaja untuk berhubungan seksual sebelum “waktunya” (diluar pernikahan) atau melegalkan seks “bebas”. 

Pernyataan ini kemudian dapat dijelaskan dengan hasil penelitian global di berbagai negara terkait dengan manfaat Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual Komprehensif dan dijelaskan detail dalam ITGSE (International Technical Guidance on Sexuality Education). Remaja yang mendapatkan informasi terkait dengan kesehatan reproduksi dan seksual secara komprehensif, cenderung menunda aktivitas seksual pertama mereka, membantu mengubah sikap dan norma sosial terkait seksualitas, yang sering kali dipenuhi oleh mitos dan stigma. Kondisi ini menunjukkan bahwa asumsi penyediaan kontrasepsi pada remaja menjadi faktor pendorong remaja melakukan “seks bebas” menjadi tidak relevan, karena dalam kebijakan juga mendorong adanya pendidikan kesehatan reproduksi. 

Terlepas dari polemik peraturan pemerintah ini, penyediaan kontrasepsi bagi remaja perlu dimaknai sebagai bentuk kewajiban negara dalam pemberian layanan kesehatan khususnya untuk kelompok rentan yaitu remaja. Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan data tingginya proporsi remaja perempuan yang pernah kawin di usia 10 – 19 tahun dan pertama kali hamil di usia 15 – 19 tahun mencapai 92%. Pada rentang usia tersebut, 50% remaja perempuan tidak menggunakan alat kontrasepsi karena tidak diizinkan oleh suami atau keluarganya. Padahal, secara medis kehamilan usia dibawah 20 tahun memiliki risiko tinggi terhadap kesakitan dan kematian ibu termasuk risiko kesehatan pada bayi yang dilahirkan. 

Pemberian layanan kesehatan bagi remaja di sekolah salah satunya memberikan alat kontrasepsi banyak mengalami miskonsepsi. dr. Oka pun menangkap perdebatan di masyarakat “Jadi saat ada aturan pemerintah yang niatnya memfasilitasi kondom untuk remaja berisiko, dianggap itu memfasilitasi buat semua remaja. Parahnya lagi dianggap membolehkan kondom buat semua remaja, malah dipelintir jadi menganjurkan kondom.”  Jelas kesenjangan penafsiran dalam hal ini mesti dijembatani oleh pemerintah dengan penjelasan yang komprehensif dan berlandaskan pada alasan konsekuensi logis kesehatan.

Oleh karena itu, penyediaan kontrasepsi dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja harus dilihat sebagai upaya penting dalam mencegah risiko kesehatan yang dapat dicegah, seperti komplikasi kehamilan dan kematian ibu serta bayi. Lebih dari itu, pendidikan kesehatan reproduksi berperan penting dalam meningkatkan kesadaran remaja akan hak-hak kesehatan mereka, membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik terkait tubuh dan masa depan mereka.  

sumber: 

https://www.kemkes.go.id/id/survei-kesehatan-indonesia-ski-2023

https://www.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/ITGSE.pdf https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/07/29/global-sebanyak-121-juta-kehamilan-tidak-diinginkan-terjadi-setiap-tahun

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-pregnancy

https://kemkes.go.id/id/peraturan-pemerintah-ri-no-28-tahun-2024-tentang-peraturan-pelaksanaan-uu-kesehatan

https://journal.poltekkes-mks.ac.id/ojs2/index.php/mediakesehatan/article/download/2447/1692

Share this post

Scroll to Top