
Jika kita melihat ke dunia internasional. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) telah mengatur hak perempuan untuk bebas dari diskriminasi. Apalagi sebenarnya Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 1984. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai patriarkis masih membatasi kebebasan perempuan dalam memilih jalannya sendiri.
Era modern ini, banyak yang beranggapan bahwa perempuan sudah memperoleh hak-haknya secara penuh dan tidak lagi mengalami diskriminasi. Ada pula yang menganggap perjuangan hak perempuan sebagai sesuatu yang berlebihan atau bahkan tidak diperlukan. Namun, jika kita melihat lebih dalam, terutama dengan mempertimbangkan faktor geografis, ekonomi, dan pendidikan, diskriminasi terhadap perempuan masih sangat nyata dan berlangsung diberbagai aspek kehidupan.
Salah satu bentuk diskriminasi yang masih kuat terasa adalah dalam dunia kerja. Banyak perempuan yang setelah menikah harus menghadapi dilema antara tetap bekerja atau mengurus anak, seakan tugas domestik adalah kewajiban mutlak perempuan. Jika seorang perempuan meminta kesetaraan dalam tanggung jawab domestik, ia sering kali dianggap tidak menjalankan perannya dengan baik. Pandangan ini mencerminkan stereotipe gender yang masih melekat di masyarakat, yang menghambat perempuan dalam memperoleh hak yang setara di dunia profesional maupun dalam kehidupan pribadi.
Jika kita melihat ke dunia internasional. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) telah mengatur hak perempuan untuk bebas dari diskriminasi. Apalagi sebenarnya Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 1984. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai patriarkis masih membatasi kebebasan perempuan dalam memilih jalannya sendiri.
Di banyak keluarga, pendidikan tinggi bagi perempuan masih dianggap tidak terlalu penting dibandingkan laki-laki. Anggapan bahwa perempuan pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga membuat mereka kurang mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, di beberapa daerah, pernikahan dini masih terjadi atas alasan ekonomi atau norma budaya yang menganggap perempuan yang belum menikah sebagai satu hal yang kurang baik. Apalagi pada usia tertentu, perempuan seringkali dituntut untuk menikah. pertanyaan “Mau tunggu apalagi?” “Nanti jadi perawan tua” menjadi satu label yang membuat perempuan tak dapat secara bebas menentukan kehendak kapan menikah. Posisi inilah yang menandakan pada dasarnya perempuan masih banyak yang berada dalam posisi terdiskriminasi dan banyak dari kita yang memilih “menormalisasi-nya.”
PKBI Daerah Bali terus berupaya untuk menghapus diskriminasi ini dengan berbagai cara. Melalui Kisara PKBI Bali, kami memberikan edukasi kepada remaja dan kelompok sebaya mengenai pentingnya keadilan gender. Selain itu, PKBI juga melakukan advokasi berbasis bukti kepada pemerintah, termasuk Dinas Kesehatan dan Dinas Pemberdayaan Perempuan serta Perlindungan Anak. PKBI Bali mendorong program yang berperspektif adil gender dan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Tak hanya itu, PKBI juga menyediakan layanan kesehatan dan konseling untuk kekerasan berbasis gender, melalui Klinik Catur Warga. Memastikan agar perempuan mendapatkan akses yang adil terhadap informasi dan layanan kesehatan.
Terakhir, meskipun sudah ada kemajuan dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan partisipasi aktif dari semua pihak. Pemerintah, organisasi masyarakat, maupun individu berkewajiban untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender. Perempuan bukan warga negara kelas dua, dan perjuangan untuk hak-hak perempuan bukanlah sebuah eksklusifitas, melainkan bentuk inklusivitas afirmasi atas kondisi perempuan yang lekat dengan berbagai pandangan bias sehingga membutuhkan kebijakan atau intervensi khususnya untuk kemudian membentuknya setara. Bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih adil, di mana setiap perempuan memiliki hak yang sama untuk bermimpi, berkarier, dan hidup tanpa diskriminasi.
Sumber: https://www.konde.co/2016/06/mengapa-ada-diskriminasi-terhadap/
https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/7564/4213