Minikino Film Week 10 (MFW10) Bali International Short Film Festival akan segera digelar merayakan tahun ke-10 penyelenggaraannya. Rangkaian acara MFW10 dijadwalkan berlangsung dari tanggal 13 hingga 20 September 2024 di berbagai lokasi yang tersebar di seluruh Bali. Di usianya yang ke-10 tahun, MFW berkomitmen untuk memperkuat simpul ekosistem film pendek baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, menghadirkan karya-karya kreatif dari berbagai penjuru dunia.
Festival ini akan digelar di 17 lokasi berbeda yang tersebar di seluruh Bali. Pemilihan lokasi berbeda ini adalah komitmen untuk memproduksi ruang sosial yang dihidupkan oleh budaya sinema yang juga mendorong tindakan sosial. MFW10 menyikapi ruang tidak melulu dalam artian fisik, tetapi juga sebagai wadah interaksi sosial dan budaya. Fransiska Prihadi, Direktur Program MFW, menjelaskan bahwa upaya ini merupakan bagian dari produksi ruang sosial, di mana ruang dipersepsikan melalui hubungan antara aktivitas sosial, kehidupan pribadi, dan waktu yang melebur dalam budaya sinema.
Dalam usaha untuk menghadirkan ruang, Minikino mengajak berbagai komunitas dan pengunjung untuk lebih mengenali dan memahami bagaimana ruang dan budaya layar dapat digunakan untuk menghubungkan berbagai lini ekosistem. Pelaksanaan festival pun pada akhirnya dikemas sangat inklusif dengan berbagai fasilitas ramah disabilitas. “Kami menyediakan teks deskripsi audio (AD) untuk disabilitas netra dan SDH untuk Tuli,” jelas Fransiska Prihadi. Begitu juga dengan garapan isu yang sangat luas, khususnya terkait isu-isu kemanusiaan, seperti kesehatan mental dan kekerasan berbasis gender (KBG).
Kisara (Kita Sayang Remaja) Bali berkesempatan untuk menjadi salah satu bagian dari MFW10. Kisara menjadi nominasi dari 10 film vertikal bertemakan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) untuk mendapat dukungan produksi dari Minikino. Film vertikal Kisara berjudul “Purusa, Utama?” sebuah film yang berusaha mengangkat dampak dari kekerasan berbasis gender yang menghasilkan sebuah norma toxic masculinity atau sebuah pandangan yang membuat laki-laki harus bertindak sesuai dengan ekspektasi lingkungan sosialnya yang kadang kala membuat individu tersebut tidak nyaman dan malah terjebak dalam perilaku kekerasan yang berujung pada dampak negatif berkepanjangan dan berlangsung turun-temurun.
Pembuatan film vertikal ini melibatkan produser dan penulis perempuan untuk memperkuat dialog dalam upaya mengurangi KBG di Indonesia. Acara ini akan diisi dengan presentasi, diskusi, dan pameran film vertikal yang berlangsung dari tanggal 14 hingga 19 September 2024. Screening film Vertikal karya Kisara juga menjadi salah satu film yang akan ditampilkan dengan harapan mampu memberikan khazanah pengetahuan dalam diskusi terkait isu KBG. “Sebagai perempuan, kami berpikir bahwa menjadi laki-laki itu lebih menyenangkan. Setelah berkecimpung di dunia HKSR, kami belajar bahwa permasalahan hidup yang dialami oleh laki-laki pun sebetulnya tidak kalah berat; dan seringkali dipandang sebelah mata. Kami ingin mengangkat mengenai topik ini untuk meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa baik laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjadi korban kekerasan berbasis gender” Keterangan dari Dayu Sri salah satu pemeran utama dalam film yang dibuat Kisara.
Film vertikal yang berjudul “Purusa, Utama?” ditulis oleh Ida Ayu Gde Pradnya Dharmika salah satu relawan aktif Kisara. “Kekerasan berbasis gender sering kali berakar dari ketidaksetaraan yang tertanam dalam nilai-nilai gender yang kita yakini. Melalui film ini, kami ingin menyuarakan perspektif yang jarang diangkat tersebut. Setiap adegan adalah cerminan dari realita pahit yang dialami oleh banyak orang” terang Pradnya dalam writer statement. Seluruh tim produksi film dilaksanakan oleh relawan Kisara, produser dan director film ini adalah Fatima Gita Elhasni dan Ni wayan Yuliantari, DOP & Editor adalah I Komang Doni Kurniawan dan Pemeran utama adalah Ida Bagus Saskara Ari Putra & I.A. Pt. Wahyu Sri Saraswati.
“Film ini merupakan hasil observasi kami pada nilai-nilai gender yang terjadi di masyarakat. Semoga film ini bisa memantik refleksi mendalam terkait akar kekerasan berbasis gender, terutama dalam lingkungan keluarga” Jelas Ima Gita. Film ini sebagai wahana untuk terus dapat didiskursuskan dan menjadi bahan diskusi produktif untuk dapat menjadi arah kritis dalam menangkap fenomena sosial. PKBI Daerah Bali sebagai pelopor dalam mewujudkan keluarga bertanggung jawab dan inklusif sangat mengapresiasi dan mendukung penuh metode film sebagai wadah untuk menuangkan pemikiran aktivis dan kritis khususnya dalam isu kemanusiaan, kesehatan dan inklusivitas. Harapannya, dengan festival ini akan banyak lagi bermunculan sineas muda yang memiliki perspektif adil gender sehingga dapat disalurkan melalui karya dan menjadi basis suara dominan dalam menarasikan dan mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, sebab lingkungan sosial yang progresif membutuhkan hal tersebut.